SYAIR KEMATIAN
by : Adi Sujatmiko
Sore ini udara terasa
dingin. Matahari mulai sembunyi di balik awan gelap. Kilatan petir terus menyela
diantara gelapnya awan, hembusan angin kini lebih menusuk tulangku.
“Rupanya mau hujan”,
gumamku dalam hati.
Segera ku ambil sweeter
warna hitam yang ada di samping jendela tempat dudukku.
Selang beberapa menit, awan
gelap mulai menangis menjatuhkan butir-butir air di atas tanah. gemuruh petir
pun terdengar lebih keras. Aku hanya berpikir mereka bagaikan orang menangis.
Awan gelap diibaratkan muka yang penuh dengan masalah, rintik hujan seperti air
mata yang jatuh dari kelopak mata, dan suara petir diibaratkan rong-rongan
suara tangis kesedihan yang ingin ditunjukkan kepada setiap orang.
Kini aku tenggelam dalam
lamunan otakku. Terngiang di telingaku perkataan dokter Samuel kepada Ibu
kemarin sore.
“Obat-obatan ini memang
tidak mampu menyembuhkan penyakit secara total, namun bisa meredakan sakit
sesaat. Obat ini harus diminum setiap hari. Kanker otak yang bersarang di
kepalanya sudah memasuki stadium 4. Sya beserta dokter lain memperkirakan, Miko
hanya mampu bertahan dalam 2 bulan ini. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan”.
Suara dokter Samuel
terdengar jelas melayang terbang menyusup ke otakku melewati dinding-dinging
telinga di kepalaku.
Hidupku tinggal 2 bulan
lagi ?? Percuma selama ini, ku isi hari-hariku dengan menenggak pil dan obat
sialan. Aku sudah cukup muak melihat pil dan obat pembunuh perkembang sel
kanker. Setiap pagi, siang dan malam aku harus selalu meminum obat-obatan itu.
Jika tidak, kepalaku terasa sakit bagaikan dipukul dengan palu besi dan siap
pecah.
Aku semakin hanyut dalam
lamunan. Pikiranku terbang entah kemana. Hingga tak kusadari, seorang wanita
dengan muka penuh kasih sayang tengah berdiri di belakangku. Dialah Ibuku. Ia
membawa sebuah nampan dengan segelas air putih dan beberapa bungkus
obat-obatan.
“Miko, jangan lupa minum
obat sore ini !”, Ibu menyodorkan nampan itu kepadaku.
“Nggak perlu, Bu. Pada
akhirnya aku juga mati !” jawabku enek tanpa melihat nampan yang diberikan oleh
Ibu kepadaku.
Kini Ibu terdiam. Hatiku
memang sakit setiap kali Ibu menyuruhku minum obat. Kenapa Ibu selalu melakukan
ini ? Padahal Ibu sudah tahu bahwa waktuku tinggal 2 bulan lagi. Kenapa aku
harus selalu minum obat ? Buat apa ?
“Tidak kok. Kamu pasti
sembuh, percaya sama Ibu !” Ibu menatapku tajam meyakinkan hatiku.
“Tuhan memang tidak
sayang padaku, Ibu”.
Ibu duduk di sebelahku
dan memeluk tubuhku erat. Kurasakan hangatnya kasih sayang yang selalu Ibu
berikan.
“Siapa bilang ? Tuhan
sayang sama kamu, makanya kamu diberi ujian seperti ini. Jika kamu sudah
melewati ujian ini, pasti Tuhan akan memberikan rahmat-Nya untukmu. Sekarang
minum obat dulu”, perlahan Ibu meninggalkanku sendiri.
Aku hanya terdriam
menatap derasnya air hujan. Kuambil gitar coklat kesayanganku. Kumainkan lagu
saat terakhir dan mulai suaraku bersenandung mengikuti alunan gitar.
Di bawah batu nisan kini
kau tlah sandarkan
kasih sayang kamu,
begitu dalam
Sungguhku tak sanggup
ini terjadi karna ku
sangat
cinta
Inilah saat terakhirku
melihat kamu
jatuh air mataku ….
Kuhentikan nyanyianku. Dalam
derasnya hujan, aku menangis …, aku mengangisi kisah hidupku. Bayangan kematian
kini menghantuiku. Ya Tuhan, apakah umurku benar tinggal 2 bulan lagi ? Aku
ragu, sudah cukupkah amal perbuatanku ?
Apakah lebih besar dosa yang aku perbuat ? Aku hanya satu permintaan kepada-Mu
!
* * *
Sinar mentari pagi mulai
menyeruak masuk ke dalam kamarku. Udara segar mulai membelai kulitku ketika Ibu
membuka jendela.
“Cepetan bangun, Nak.
Mandi lalu sarapan dan lupa setelah sarapan minum obat !” perintah Ibu sambil
membereskan meja belajarku.
“Ya … !” jawabku
Aku beranjak dari tempat
tidurku dan menuju ke kamar mandi. Malas sekali ketika Ibu menyuruhku untuk
minum obat. Rasanya kata itu sudah menjadi perintah yang harus dipenuhi atau
dalam lingkungan resmi adalah tata tertib. Setelah semua siap, aku langsung
ambil motor dan bergegas ke sekolah.
Di jalan, aku tidak
sepenuhnya fokus mengendarai motor. Separuh pikiranku terbang melayang menembus
awan yang masih terlihat pucat. Tuhan, … jika waktuku tinggal 2 bulan, apakah
aku bisa memperbaiki semua ?? Tempat manakah yang kiranya Engkau siapkan
untukku ? Aku percaya kepada-Mu. Semoga Engkau memberikan yang terbaik untukku.
Setengah jam aku mengendarai
sepeda motor, dinginnya udara pagi terasa begitu senang membelai kulitku.
Kulihat sahabatku telah menanti di pintu masuk.
“Miko, … kok mukamu
pucat si ?” tanya Dion dengan muka penasaran.
“Ah masa … padahal aku
udah pake make up loh … he … he … he !” jawabku dengan canda.
“Ihh … gak usah bercanda
deh, beneran loh kamu pucat, kenapa si ?” Dion semakin penasaran.
“Udahlah, gak usah
dipikirin. Aku gak apa-apa kok. Masuk kelas yus !” ajakku mengalihkan
pembicaraan.
Kuajak Dion masuk kelas.
Maafkan aku Di, terpaksa aku berucap bohong padamu. Dion adalah sahabat terbaik
yang aku punya. Dialah satu-satunya teman yang dapat aku percaya. Namun tentang
penyakitku ini, aku takkan beritahu kepadanya.
“Maafkan aku, Di !”
gumamku dalam hati.
* * *
Satu bulan kemudian.
Kembali ku lantunkan syair saat terakhir diiringi
dengan petikan senar gitar kesayanganku. Kesekian kalinya aku menitikan air
mata yang sudah mulai terasa kering. Tapi, aku selalu ingat perkataan Dion
sahabatku.
“Jadilah orang yang
tegar menghadapi masalah apapun !”
Itulah motto seorang
Dion ketika ia tahu bahwa aku mempunyai kanker otak. Ia selalu mempunyai cara
agar aku tetap tegar dan semangat. Sehingga aku berpikiran untuk mengisi sisa
waktuku dengan kebaikan. Aku ingin, jika aku mati nanti, aku terbebas dari
obat-obatan sialan yang menyiksa hidupku.
Di sebuah kursi merah,
di ruang tamu, aku dan Ibu duduk saling berhadapan. Aku berniat untuk
mengutarakan semua keinginanku.
“Bu, aku sudah nggak mau
minum obat itu lagi !”
Kutatap Ibu dengan penuh harap.
“Ko, sebenarnya Ibu
tidak tega membiarkan kamu berhenti minum obat. Tapi .. !” Ibu berhenti bicara
dan ia tersipu tak mau menatapku.
Kulihat kedua kelopak
mata Ibu sudah mendung, dan siap menghujankan air mata.
“Ibu, aku ingin bebas
dari obat pembunuh perkembangan sel kanker itu, Bu. … Aku tersiksa !” kupertajam
tatapanku pada Ibu.
Ibu hanya terdiam
membisu. Matanya sayu memandangku. Yah …, mega mendung itu kini meneteskan air
mata. Hatiku terisis melihat Ibu menangis karena aku.
* * *
Di sebuah ruangan yang
cukup luas, dipenuhi dengan peralatan kedokteran serta tumpukan botol berisi
obat-obatan, aku duduk di atas kursi besi berwarna biru sambil menunggu dokter
Samuel. Tak lama kemudian pintu kaca terbuka.
“Miko !” dokter Samuel
menyapaku sambil menutup kembali pintu kaca itu.
“Ya, dokter !” sahutku.
“Maafkan aku, dokter !”
ku buka pembicaraan.
“Miko, kamu jangan
menyerah. Kamu pasti sembuh”, sahut dokter Samuel sambil menuju tempat
duduknya.
Kini, kami duduk saling berhadapan. Aku mengutarakan
semua maksud dan tujuanku menemui dokter Samuel.
“Memang apa yang akan
kamu lakukan, jika sudah tidak minum obat lagi ?” dokter Samuel menatapku
tajam.
“Saya akan minta maaf
pada setiap orang yang saya kenal, termasuk dokter. Saya sering merasa marah
kepada dokter karena dokter selalu memberikan obat-obatan itu pada saya. Saya
juga akan minta maaf kepada Ibu saya sekaligus ucapan terima kasih karena
dengan sabarnya ia merawat hidup saya. Selain itu, saya ingin berterima kasih
kepada Dion, sahabat saya yang selalu memberikan motivasi kepada saya agar
selalu tegar dan semangat !” jawabku dengan penuh keyakinan.
Kulihat mega mendung ada
di kelopak mata dokter Samuel. Lama kami terdiam, tak sepatah katapun terucap.
“Hidup mati manusia ada
di tangan Tuhan, Miko !” dokter Samuel mulai berbicara.
“Saya tahu, dan saya
percaya itu !” sahutku.
“Kalau kamu tahu, kenapa
kamu merasa bahwa hidup kamu akan usai ? Semua tergantung pada Tuhan !” dokter
Samuel meyakinkanku.
Ku tatap bola mata
dokter Samule yang mulai berkaca-kaca menumpahkan air mata. Aku tak sanggup
untuk memberikan jawaban karena jawabanku hanya akan membuat air bah di pelupuk
mata dokter Samuel. Aku tak mau melihat kesedihan. Kini niatku untuk
memperbaiki semua, aku akan lebih bertakwa serta lebih mendekatkan diri kepada
Allah.
Aku pun beranjak pergi
meninggalkan ruang dokter Samuel. Tapi, belum sampai aku membuka pintu kaca
ruangan itu. Kepalaku terasa sakit. Benar-benar sakit !! Aku langsung kehilangan keseimbangan serta
kesadaran. Aku pun tak merasakan apa-apa lagi.
* * *
Penglihatanku agak kabur
ketika kubuka kedua mata ini. Kuluhat langit-langit atap yang terbuat dari
eternit berwana putih, serta kurasakan alat infus menancap di lenganku.
Seseorang yang pertama kali kulihat ialah Ibuku. Ia sedang menangis memegang
erat tangan kananku. Dion dan kedua orang tuanya juga ada di sini.
“Ada apa ini, Bu ?”
tanyaku lemas.
Ibu tidak menjawab, ia
terus saja menangis. Tak mampu berucap.
“Ibu, maafkan aku ya Bu.
Selama ini aku hanya menyusahkan Ibu !”
“Iya, Nak. Kamu tidak
ada salah sama Ibu. Ibu sayang sama kamu !” Ibu berbicara sambil menangis.
“Terima kasih Ibu, aku
sayang Ibu”.
Tubuhku terasa lemas,
mataku terasa berat, nafasku terasa begitu sesak. Ku ucapkan “Lai
illahaillallah muhammadarrasulullah, Allahu akbar”
Semenjak itu pula aku tidak
merasakan ataupun mengingat semua. Terima kasih, Ibu … !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar