Jumat, 27 April 2012

Cerpen Siswa Kelas X TP 2011/2012

SYAIR KEMATIAN
by : Adi Sujatmiko



Sore ini udara terasa dingin. Matahari mulai sembunyi di balik awan gelap. Kilatan petir terus menyela diantara gelapnya awan, hembusan angin kini lebih menusuk tulangku.

“Rupanya mau hujan”, gumamku dalam hati.
Segera ku ambil sweeter warna hitam yang ada di samping jendela tempat dudukku.
Selang beberapa menit, awan gelap mulai menangis menjatuhkan butir-butir air di atas tanah. gemuruh petir pun terdengar lebih keras. Aku hanya berpikir mereka bagaikan orang menangis. Awan gelap diibaratkan muka yang penuh dengan masalah, rintik hujan seperti air mata yang jatuh dari kelopak mata, dan suara petir diibaratkan rong-rongan suara tangis kesedihan yang ingin ditunjukkan kepada setiap orang.
Kini aku tenggelam dalam lamunan otakku. Terngiang di telingaku perkataan dokter Samuel kepada Ibu kemarin sore.
“Obat-obatan ini memang tidak mampu menyembuhkan penyakit secara total, namun bisa meredakan sakit sesaat. Obat ini harus diminum setiap hari. Kanker otak yang bersarang di kepalanya sudah memasuki stadium 4. Sya beserta dokter lain memperkirakan, Miko hanya mampu bertahan dalam 2 bulan ini. Kita serahkan saja semua kepada Tuhan”.
Suara dokter Samuel terdengar jelas melayang terbang menyusup ke otakku melewati dinding-dinging telinga di kepalaku.
Hidupku tinggal 2 bulan lagi ?? Percuma selama ini, ku isi hari-hariku dengan menenggak pil dan obat sialan. Aku sudah cukup muak melihat pil dan obat pembunuh perkembang sel kanker. Setiap pagi, siang dan malam aku harus selalu meminum obat-obatan itu. Jika tidak, kepalaku terasa sakit bagaikan dipukul dengan palu besi dan siap pecah.
Aku semakin hanyut dalam lamunan. Pikiranku terbang entah kemana. Hingga tak kusadari, seorang wanita dengan muka penuh kasih sayang tengah berdiri di belakangku. Dialah Ibuku. Ia membawa sebuah nampan dengan segelas air putih dan beberapa bungkus obat-obatan.
“Miko, jangan lupa minum obat sore ini !”, Ibu menyodorkan nampan itu kepadaku.
“Nggak perlu, Bu. Pada akhirnya aku juga mati !” jawabku enek tanpa melihat nampan yang diberikan oleh Ibu kepadaku.
Kini Ibu terdiam. Hatiku memang sakit setiap kali Ibu menyuruhku minum obat. Kenapa Ibu selalu melakukan ini ? Padahal Ibu sudah tahu bahwa waktuku tinggal 2 bulan lagi. Kenapa aku harus selalu minum obat ? Buat apa ?
“Tidak kok. Kamu pasti sembuh, percaya sama Ibu !” Ibu menatapku tajam meyakinkan hatiku.
“Tuhan memang tidak sayang padaku, Ibu”.
Ibu duduk di sebelahku dan memeluk tubuhku erat. Kurasakan hangatnya kasih sayang yang selalu Ibu berikan.
“Siapa bilang ? Tuhan sayang sama kamu, makanya kamu diberi ujian seperti ini. Jika kamu sudah melewati ujian ini, pasti Tuhan akan memberikan rahmat-Nya untukmu. Sekarang minum obat dulu”, perlahan Ibu meninggalkanku sendiri.
Aku hanya terdriam menatap derasnya air hujan. Kuambil gitar coklat kesayanganku. Kumainkan lagu saat terakhir dan mulai suaraku bersenandung mengikuti alunan gitar.
Di bawah batu nisan kini
kau tlah sandarkan
kasih sayang kamu,
begitu dalam
Sungguhku tak sanggup
ini terjadi karna ku sangat
cinta
Inilah saat terakhirku
melihat kamu
jatuh air mataku ….

Kuhentikan nyanyianku. Dalam derasnya hujan, aku menangis …, aku mengangisi kisah hidupku. Bayangan kematian kini menghantuiku. Ya Tuhan, apakah umurku benar tinggal 2 bulan lagi ? Aku ragu, sudah cukupkah  amal perbuatanku ? Apakah lebih besar dosa yang aku perbuat ? Aku hanya satu permintaan kepada-Mu !

* * *
Sinar mentari pagi mulai menyeruak masuk ke dalam kamarku. Udara segar mulai membelai kulitku ketika Ibu membuka jendela.
“Cepetan bangun, Nak. Mandi lalu sarapan dan lupa setelah sarapan minum obat !” perintah Ibu sambil membereskan meja belajarku.
“Ya … !” jawabku
Aku beranjak dari tempat tidurku dan menuju ke kamar mandi. Malas sekali ketika Ibu menyuruhku untuk minum obat. Rasanya kata itu sudah menjadi perintah yang harus dipenuhi atau dalam lingkungan resmi adalah tata tertib. Setelah semua siap, aku langsung ambil motor dan bergegas ke sekolah.
Di jalan, aku tidak sepenuhnya fokus mengendarai motor. Separuh pikiranku terbang melayang menembus awan yang masih terlihat pucat. Tuhan, … jika waktuku tinggal 2 bulan, apakah aku bisa memperbaiki semua ?? Tempat manakah yang kiranya Engkau siapkan untukku ? Aku percaya kepada-Mu. Semoga Engkau memberikan yang terbaik untukku.
Setengah jam aku mengendarai sepeda motor, dinginnya udara pagi terasa begitu senang membelai kulitku. Kulihat sahabatku telah menanti di pintu masuk.
“Miko, … kok mukamu pucat si ?” tanya Dion dengan muka penasaran.
“Ah masa … padahal aku udah pake make up loh … he … he … he !” jawabku dengan canda.
“Ihh … gak usah bercanda deh, beneran loh kamu pucat, kenapa si ?” Dion semakin penasaran.
“Udahlah, gak usah dipikirin. Aku gak apa-apa kok. Masuk kelas yus !” ajakku mengalihkan pembicaraan.
Kuajak Dion masuk kelas. Maafkan aku Di, terpaksa aku berucap bohong padamu. Dion adalah sahabat terbaik yang aku punya. Dialah satu-satunya teman yang dapat aku percaya. Namun tentang penyakitku ini, aku takkan beritahu kepadanya.
“Maafkan aku, Di !” gumamku dalam hati.
* * *
Satu bulan kemudian.
Kembali  ku lantunkan syair saat terakhir diiringi dengan petikan senar gitar kesayanganku. Kesekian kalinya aku menitikan air mata yang sudah mulai terasa kering. Tapi, aku selalu ingat perkataan Dion sahabatku.
“Jadilah orang yang tegar menghadapi masalah apapun !”
Itulah motto seorang Dion ketika ia tahu bahwa aku mempunyai kanker otak. Ia selalu mempunyai cara agar aku tetap tegar dan semangat. Sehingga aku berpikiran untuk mengisi sisa waktuku dengan kebaikan. Aku ingin, jika aku mati nanti, aku terbebas dari obat-obatan sialan yang menyiksa hidupku.
Di sebuah kursi merah, di ruang tamu, aku dan Ibu duduk saling berhadapan. Aku berniat untuk mengutarakan semua keinginanku.
“Bu, aku sudah nggak mau minum obat itu lagi !”
Kutatap Ibu dengan penuh harap.
“Ko, sebenarnya Ibu tidak tega membiarkan kamu berhenti minum obat. Tapi .. !” Ibu berhenti bicara dan ia tersipu tak mau menatapku.
Kulihat kedua kelopak mata Ibu sudah mendung, dan siap menghujankan air mata.
“Ibu, aku ingin bebas dari obat pembunuh perkembangan sel kanker itu, Bu. … Aku tersiksa !” kupertajam tatapanku pada Ibu.
Ibu hanya terdiam membisu. Matanya sayu memandangku. Yah …, mega mendung itu kini meneteskan air mata. Hatiku terisis melihat Ibu menangis karena aku.
* * *
Di sebuah ruangan yang cukup luas, dipenuhi dengan peralatan kedokteran serta tumpukan botol berisi obat-obatan, aku duduk di atas kursi besi berwarna biru sambil menunggu dokter Samuel. Tak lama kemudian pintu kaca terbuka.
“Miko !” dokter Samuel menyapaku sambil menutup kembali pintu kaca itu.
“Ya, dokter !” sahutku.
“Maafkan aku, dokter !” ku buka pembicaraan.
“Miko, kamu jangan menyerah. Kamu pasti sembuh”, sahut dokter Samuel sambil menuju tempat duduknya.
Kini, kami duduk               saling berhadapan. Aku mengutarakan semua maksud dan tujuanku menemui dokter Samuel.
“Memang apa yang akan kamu lakukan, jika sudah tidak minum obat lagi ?” dokter Samuel menatapku tajam.
“Saya akan minta maaf pada setiap orang yang saya kenal, termasuk dokter. Saya sering merasa marah kepada dokter karena dokter selalu memberikan obat-obatan itu pada saya. Saya juga akan minta maaf kepada Ibu saya sekaligus ucapan terima kasih karena dengan sabarnya ia merawat hidup saya. Selain itu, saya ingin berterima kasih kepada Dion, sahabat saya yang selalu memberikan motivasi kepada saya agar selalu tegar dan semangat !” jawabku dengan penuh keyakinan.
Kulihat mega mendung ada di kelopak mata dokter Samuel. Lama kami terdiam, tak sepatah katapun terucap.
“Hidup mati manusia ada di tangan Tuhan, Miko !” dokter Samuel mulai berbicara.
“Saya tahu, dan saya percaya itu !” sahutku.
“Kalau kamu tahu, kenapa kamu merasa bahwa hidup kamu akan usai ? Semua tergantung pada Tuhan !” dokter Samuel meyakinkanku.
Ku tatap bola mata dokter Samule yang mulai berkaca-kaca menumpahkan air mata. Aku tak sanggup untuk memberikan jawaban karena jawabanku hanya akan membuat air bah di pelupuk mata dokter Samuel. Aku tak mau melihat kesedihan. Kini niatku untuk memperbaiki semua, aku akan lebih bertakwa serta lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Aku pun beranjak pergi meninggalkan ruang dokter Samuel. Tapi, belum sampai aku membuka pintu kaca ruangan itu. Kepalaku terasa sakit. Benar-benar sakit !!  Aku langsung kehilangan keseimbangan serta kesadaran. Aku pun tak merasakan apa-apa lagi.
* * *
Penglihatanku agak kabur ketika kubuka kedua mata ini. Kuluhat langit-langit atap yang terbuat dari eternit berwana putih, serta kurasakan alat infus menancap di lenganku. Seseorang yang pertama kali kulihat ialah Ibuku. Ia sedang menangis memegang erat tangan kananku. Dion dan kedua orang tuanya juga ada di sini.
“Ada apa ini, Bu ?” tanyaku lemas.
Ibu tidak menjawab, ia terus saja menangis. Tak mampu berucap.
“Ibu, maafkan aku ya Bu. Selama ini aku hanya menyusahkan Ibu !”
“Iya, Nak. Kamu tidak ada salah sama Ibu. Ibu sayang sama kamu !” Ibu berbicara sambil menangis.
“Terima kasih Ibu, aku sayang Ibu”.
Tubuhku terasa lemas, mataku terasa berat, nafasku terasa begitu sesak. Ku ucapkan “Lai illahaillallah muhammadarrasulullah, Allahu akbar”
Semenjak itu pula aku tidak merasakan ataupun mengingat semua. Terima kasih, Ibu … !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar