Jumat, 27 April 2012

Cerpen Siswa Kelas X TP 2011/2012

Saat Badai Menerpa
By Dwi Ayu Lestari

Saat dunia ini mulai sepi, tanpa sinar mentari yang menyinari dan kehangatan yang menyelimuti hati. Semua makhluk membaringkan tubuhnya yang letih di atas kasur pembaringan. Tetapi, di rumah kecil berwarna kuning ini ku tak bisa memejamkan kedua mata ini. Pikiranku melayang pada satu jam lalu. Ketika kedua orangtuaku bertengkar cukup hebat. Ku maklum bila ibuku sering marah-marah, tapi ku tak mengira ia sampai tega melakukan itu padaku. Aku juga teringat akan ucapan ayah yang akan meninggalkanku dan adikku. Ku ingin mengeluarkan keluh kesah ini. Tapi, pada siapa kuuraikan kisah usang ini? Apakah pada mentari bulan dan bintang?

Ah, aku tak percaya pada mereka!
Ku lebih baik memendam rasa ini, rasa yang semakin hari semakin menusuk dan menimbun semua kebahagiaanku. Tak terasa butiran-butiran mutiara yang menggenang dimataku sudah tak bisa terbendung lagi. Mereka berlarian membanjiri semua kulit pipiku. Hanya hewan malam yang melihat kesedihanku. Kesedihan yang akhirnya membawaku terlelap meninggalkan dunia ini.
Dunia dimana kudapat melupakan segalanya. Tapi, ku tak bisa disana selamanya. Seolah-olah ada yang menarikku keluar dari dunia ini. Mereka menguatkan hatiku untuk tetap tegar menghadapi semua ini sampai ku buka mata ini dan kulihat surya tengah mengintipku lewat celah-celah jendela kamar.
Yeah, kumasih punya teman-teman yang selalu mewarnai hari-hariku dengan riang, senang dan gembira. Akupun segera menurunkan kedua kaki ini dan menyambar handuk yang setiap hari siap melayaniku. Akan tetapi ku tak bisa memungkiri bahwa di dalam hatiku masih ada luka yang menganga. Apalagi setelah kulihat tak ada kehidupan diantara kami. Ayah, ibu semuanya diam membisu tak ada yang mengeluarkan kata-kata.
“Bu, Dewi berangkat” teriakku sambil membawa tas keluar. Aku cepat-cepat lari keluar karena aku tak mau ibuku melihat mata yang sembab ini.
“Tet… tet… tet.”
“Ah… sial… setiap aku berangkat pasti pas bel” runtukku dalam hati. Hari ini hatiku benar-benar kacau. Semua pelajaran yang dijelaskan oleh guruku seperti angin lalu bagiku. Hanya dapat merasakannya sesaat tanpa membayangkannya dan memikirkannya, sampai-sampai temanku yang bicara panjang lebar pun tak kudengarkan tapi cuma ku isyarakatkan dengan sebuah anggukan untuk menyenangkan hatinya.
“Dew, kamu kenapa?” tanya Desta.
“Gak papa ?” sahutku dengan wajah yang ku benamkan.
“Dew, kamu adalah temanku, dan aku adalah temanmu kamu bisa cerita masalahmu padaku mungkin ini akan membantu meringankan bebanmu?” Bujuk Desta.
Aku pun menceritakan apa yang ku pendam saat ini. Semua keluar dari mulutku dengan perlahan-lahan. Sampai semua yang menumpuk kini telah terbuang sebagian.
Tet . . . tet . . .
Tak terasa bel telah berbunyi yang menandakan semua pelajaran hari ini berakhir. Aku pun lekas merapikan buku dan bergegas pulang.
Sesampainy di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Itulah kebiasaanku.Saat kepalaku pusing oleh masalah-masalah yang ada di dunia ini, aku akan mengobatinya dengan tidur. Yeah itu merupakan cara yang ampuh untuk melupakan masalahku walau hanya sesaat.
Tak terasa matahari telah selesai mengerjakan tugasnya, kini giliran sang rembulan yang menemaniku. Tapi walaupun ada sang rembulan beserta bintang-bintangnya, aku tetap merasa sendiri, tak ada yang menemani.
Hikz… hikz… hikz,…
Ku dengar suara ibuku menangis.
“Mereka bertengkar lagi,” batinku
Seharusnya aku sudah terbiasa dengan ini, tapi kali ini??? Apakah mungkin ini akan terjadi sekarang? Pikiranku mulai memikirkan hal-hal yang tak kuharapkan.
Benar?
Kudengar suara tangis ibuku semakin keras.
Aku pun mendengar tangisan ayah.
Yeah? Ayahku menangis?
Kudengar pula ayah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Kubisa menyimpulkannya dari bunyi sleretnya.
Akupun di dalam kamar ikut menangis mendengar hal ini. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku bila mereka memutuskan untuk berpisah.
Tapi, sayup-sayup kudengar ibuku meminta maaf pada ayahku. Ibuku tak mau ditinggalkan oleh ayahku. Dia bilang dia rela mati kalau sampai ayahku meninggalkannya.
Mendengar itu air mata ini semakin membanjiri pipi, hingga bantal yang kupakai. Tangisku pun sudah terdengar sesenggukan. Aku sudah tak bisa menahannya. Ingin sekali ku menghampiri kedua orangtuaku dan meminta mereka untuk tidak melakukan hal ini padaku.
Tapi, aku tak cukup punya keberanian. Hatiku terlalu lemah. Akupun tetap berdiam dengan memeluk guling kesayanganku. Aku tak mau mereka tahu kalau aku belum tidur.
“Bu, baiklah kalau ibu ingin ayah begitu,” kata ayahku disela-sela tangisannya.
“Ayah tidak akan meninggalkan kalian, tetapi dengan syarat ibu akan berubah.”
“Baiklah yah, ibu berjanji akan berubah.” Jawab ibuku.
Mendengar hal itu, aku lagi-lagi mengeluarkan butiran-butiran air hangat dari kedua mataku. Tapi kali ini tangis kebahagiaan yang kukeluarkan bukan lagi tangis kesedihan. Akupun terus mengucapkan syukur pada Allah. Hingga tak terasa ku sudah meninggalkan dunia ini, ku pergi ke alam khayalku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar