Saat Badai Menerpa
By Dwi Ayu Lestari
Saat dunia ini mulai sepi, tanpa sinar mentari yang menyinari dan
kehangatan yang menyelimuti hati. Semua makhluk membaringkan tubuhnya yang
letih di atas kasur pembaringan. Tetapi, di rumah kecil berwarna kuning ini ku
tak bisa memejamkan kedua mata ini. Pikiranku melayang pada satu jam lalu.
Ketika kedua orangtuaku bertengkar cukup hebat. Ku maklum bila ibuku sering
marah-marah, tapi ku tak mengira ia sampai tega melakukan itu padaku. Aku juga
teringat akan ucapan ayah yang akan meninggalkanku dan adikku. Ku ingin
mengeluarkan keluh kesah ini. Tapi, pada siapa kuuraikan kisah usang ini?
Apakah pada mentari bulan dan bintang?
Ah, aku tak percaya pada mereka!
Ku lebih baik memendam rasa ini, rasa yang semakin hari semakin
menusuk dan menimbun semua kebahagiaanku. Tak terasa butiran-butiran mutiara
yang menggenang dimataku sudah tak bisa terbendung lagi. Mereka berlarian
membanjiri semua kulit pipiku. Hanya hewan malam yang melihat kesedihanku.
Kesedihan yang akhirnya membawaku terlelap meninggalkan dunia ini.
Dunia dimana kudapat melupakan segalanya. Tapi, ku tak bisa disana
selamanya. Seolah-olah ada yang menarikku keluar dari dunia ini. Mereka
menguatkan hatiku untuk tetap tegar menghadapi semua ini sampai ku buka mata ini
dan kulihat surya tengah mengintipku lewat celah-celah jendela kamar.
Yeah, kumasih punya teman-teman yang selalu mewarnai hari-hariku
dengan riang, senang dan gembira. Akupun segera menurunkan kedua kaki ini dan
menyambar handuk yang setiap hari siap melayaniku. Akan tetapi ku tak bisa
memungkiri bahwa di dalam hatiku masih ada luka yang menganga. Apalagi setelah
kulihat tak ada kehidupan diantara kami. Ayah, ibu semuanya diam membisu tak
ada yang mengeluarkan kata-kata.
“Bu, Dewi berangkat” teriakku sambil membawa tas keluar. Aku
cepat-cepat lari keluar karena aku tak mau ibuku melihat mata yang sembab ini.
“Tet… tet… tet.”
“Ah… sial… setiap aku berangkat pasti pas bel” runtukku dalam hati.
Hari ini hatiku benar-benar kacau. Semua pelajaran yang dijelaskan oleh guruku
seperti angin lalu bagiku. Hanya dapat merasakannya sesaat tanpa
membayangkannya dan memikirkannya, sampai-sampai temanku yang bicara panjang
lebar pun tak kudengarkan tapi cuma ku isyarakatkan dengan sebuah anggukan
untuk menyenangkan hatinya.
“Dew, kamu kenapa?” tanya Desta.
“Gak papa ?” sahutku dengan wajah yang ku benamkan.
“Dew, kamu adalah temanku, dan aku adalah temanmu kamu bisa cerita
masalahmu padaku mungkin ini akan membantu meringankan bebanmu?” Bujuk Desta.
Aku pun menceritakan apa yang ku pendam saat ini. Semua keluar dari
mulutku dengan perlahan-lahan. Sampai semua yang menumpuk kini telah terbuang
sebagian.
Tet . . . tet . . .
Tak terasa bel telah berbunyi yang menandakan semua pelajaran hari
ini berakhir. Aku pun lekas merapikan buku dan bergegas pulang.
Sesampainy di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Itulah
kebiasaanku.Saat kepalaku pusing oleh masalah-masalah yang ada di dunia ini,
aku akan mengobatinya dengan tidur. Yeah itu merupakan cara yang ampuh untuk
melupakan masalahku walau hanya sesaat.
Tak terasa matahari telah selesai mengerjakan tugasnya, kini giliran
sang rembulan yang menemaniku. Tapi walaupun ada sang rembulan beserta
bintang-bintangnya, aku tetap merasa sendiri, tak ada yang menemani.
Hikz… hikz… hikz,…
Ku dengar suara ibuku menangis.
“Mereka bertengkar lagi,” batinku
Seharusnya aku sudah terbiasa dengan ini, tapi kali ini??? Apakah
mungkin ini akan terjadi sekarang? Pikiranku mulai memikirkan hal-hal yang tak
kuharapkan.
Benar?
Kudengar suara tangis ibuku semakin keras.
Aku pun mendengar tangisan ayah.
Yeah? Ayahku menangis?
Kudengar pula ayah memasukkan baju-bajunya ke dalam tas. Kubisa
menyimpulkannya dari bunyi sleretnya.
Akupun di dalam kamar ikut menangis mendengar hal ini. Aku tak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi padaku bila mereka memutuskan untuk
berpisah.
Tapi, sayup-sayup kudengar ibuku meminta maaf pada ayahku. Ibuku tak
mau ditinggalkan oleh ayahku. Dia bilang dia rela mati kalau sampai ayahku
meninggalkannya.
Mendengar itu air mata ini semakin membanjiri pipi, hingga bantal
yang kupakai. Tangisku pun sudah terdengar sesenggukan. Aku sudah tak bisa
menahannya. Ingin sekali ku menghampiri kedua orangtuaku dan meminta mereka
untuk tidak melakukan hal ini padaku.
Tapi, aku tak cukup punya keberanian. Hatiku terlalu lemah. Akupun
tetap berdiam dengan memeluk guling kesayanganku. Aku tak mau mereka tahu kalau
aku belum tidur.
“Bu, baiklah kalau ibu ingin ayah begitu,” kata ayahku disela-sela
tangisannya.
“Ayah tidak akan meninggalkan kalian, tetapi dengan syarat ibu akan
berubah.”
“Baiklah yah, ibu berjanji akan berubah.” Jawab ibuku.
Mendengar hal itu, aku lagi-lagi mengeluarkan butiran-butiran air
hangat dari kedua mataku. Tapi kali ini tangis kebahagiaan yang kukeluarkan
bukan lagi tangis kesedihan. Akupun terus mengucapkan syukur pada Allah. Hingga
tak terasa ku sudah meninggalkan dunia ini, ku pergi ke alam khayalku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar