KENANGAN DI
JARI MANISKU
By
Meylina Khosianah
Hujan semakin menjadi-jadi, petir menggila, menebarkan
lidah api menjilat-jilat ke beberapa pohon. Suaranya bergemuruh hemat
menyentakkan setiap indra pendengaran makhluk hidup. Pagi hari terasa dingin
dan begitu dingin, rasanya dingin mulai menelusup pori-pori hingga memaksaku
membuka mata, kupandang sejenak tarian hujan yang jatuh dengan elok.
Kualihkan pandanganku ke arah jarum jam yang sudah
menunjukkan angka 06.00. Suara gemuruh di atas genting rumahku membuatku malas
membangunkan diri dari atas ranjang. Kupandangi langit-langit kamarku, sejenak
kukosongkan pikiranku. Kudengar sebuah getaran yang menggema di atas meja
disamping ranjangku, membuatku terbangun dari lamunanku kutolehkan pandanganku
ke arah getaran tersebut. Segera kuambil hp itu di atas meja. Sebuah pesan
muncul di hpku, pesan dari Ganjar mencoba membangunkanku.
Ya… inilah salah satu bukti perhatiannya yang ia
tunjukkan padaku, pesan ini hampir kuterima setiap pagi.
Entah apa yang ada di pikiranku, tapi memang dengan
sikapnya yang seperti inilah yang membuatku mampu menjalani hubungan bersamanya
selama 3 tahun, sampai akhirnya cincin pun melingkar di kedua jari manis kami….
Kami telah bertunangan 3 bulan yang lalu….
Badai dan kerikil tajam sering menghadang hubungan kami,
tapi kami selalu berusaha melewati itu semua dengan akal pendewasaan kami….
Sungguh, inilah yang memberanikanku menjadikan Ganjar sebagai imam di rumah
tanggaku kelak.
Hari ini aku memiliki jadwal mata kuliah yang akan
dimulai jam 9, tanpa kuminta, Ganjar selalu mengantar dan menjemputku ke
kampus. Jam 9 hanya kurang 15 menit… tangisan langit tidaklah turun sebegitu
lebatnya seperti pagi tadi, hanya rintikan gerimis yang menghiasi sudut kota….
Ganjar sudah menungguku di ruang tamu, segera kurapikan penampilanku yang masih
acak-acakan.
“Kebiasan buruk yang tidak pernah kau tinggalkan.” Ujar
Ganjar setelah aku keluar dari kamarku.
“Maaf mas, harusnya kau tak perlu mengeluh akan
kebiasaanku ini” jawabku tersenyum kecil.
“Ya sudah tapi lain kali mas ingin kamu berusaha
mengurangi waktuku untuk menunggu kamu berdandan” ujarnya sembari menunjukkan
rasa kekesalannya.
“Ya mas, pasti” jawabku singkat.
Segera ganjar mengambil kunci mobilnya dan mengajakku
berangkat.
Sungguh entah apa yang ada di benakku, terasa jika
Ganjar berada disampingku rasa ingin tidak mau satu langkahpun meninggalkannya,
ingin selalu berada disampingnya. Sesekali kutatap wajah Ganjar yang sedang
serius menyetir mobil.
“Sayang, nanti mas nggak bisa jemput ya” ujarnya tiba-tiba
dengan nada datar.
“Kenapa mas?” jawabku singkat sembari mengerutkan
dahiku.
“Ada keperluan mendadak Ame” tegasnya dengan singkat.
“Sebegitu pentingkah urusanmu sampai aku tak boleh tau”
kataku kesal.
“Bukan begitu Ame… tapi ini memang tidak penting
untukmu” jawabnya membuatku bertambah kesal.
Aku hanya terdiam, beribu tanda tanya muncul dibenakku,
rasa curiga yang begitu besar kini selalu menghantui pikiranku, tidak pernah ia
menyembunyikan sekecil apapun urusannya, ia selalu menomorduakan urusannya demi
kepentingannya bersamaku…
Tidak terasa kami sudah berada di depan kampus, segera
aku turun dari mobil tanpa sepatah katapun keluar dari mulutku.
“Ame” kudengar Ganjar memanggilku.
“Urusi saja urusan rahasiamu itu” jawabku dengan
perasaan kesal… Tanpa menunggu dia menjawab langsung saja kulangkahkan kakiku
meninggalkan mobil itu.
Perasaan yang tadi tidak ingin selangkahpun
meninggalkannya kini telah berubah, berubah menjadi rasa kesal, benar-benar
kesal, terasa semua darahku mengalir ke otak, suhu tubuh terasa naik karena
kesal yang membara.
“Ame, kenapa kamu ko’ cemberut” tanya Bara sesampaiku di
dalam ruangan.
“Tensiku naik” jawabku sambil membanting tasku di atas
meja.
“Darah tinggi maksudmu” ujar Gaby mencoba mengejekku.
“Tensi kemarahan!!!” jawabku dengan rasa yang bertambah
kesal.
Belum sempat kuceritakan kepada teman-teman, dosenku sudah
datang.
Empat jam telah berlalu, mata kuliahku hari ini telah
usai, karena Ganjar tidak bisa menjemputku akhirnya kuputuskan mengisi hari ini
dengan berkumpul dengan teman untuk sementara waktu. Tidak bisa kupungkiri
memang aku sanggup tersenyum didepan teman-temanku, tapi pikiranku melayang
entah kemana. Apa yang sedang Ganjar lakukan sekarang? Ya Tuhan sungguh
perasaanku tidaklah tenang.
“Gaby… antar aku pulang ya…” pintaku sambil memegang
tangannya.
“Ko’ pulang, kan masih jam segini” jawab Gaby.
“Gak tau nih, tiba-tiba nggak enak badan” ujarku
meyakini Gaby
“Ya udah, ambilin kunci mobilku tuh…” jawab Gaby sambil
terbangun dari duduknya.
“Maaf ya Bar, Rin, aku nggak bisa ikut kalian
jalan-jalan, aku benar-benar ngga enak badan” ujarku meminta maaf pada mereka.
“Ya udah ngga papa, kamu istirahat aja” jawab mereka
memaklumiku.
Sungguh tak pernah aku merasa sepanik ini memikirkan
Ganjar hanya sepele seperti ini. Dia tidak mengabariku seharian, sms, telfon,
tidak aku terima, ada apa ini? Sungguh dia lain dari yang biasanya, ini yang
membuatku menjadi kekanak-kanakan dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
“Kamu kenapa si Me? Kamu ngga seperti biasanya” tanya
Gaby simpati dengan kondisiku.
“Nggak tau Gab, tiba-tiba ngga enak badan aja” jawabku
dengan singkat.
Aku tidak ingin menceritakan hal ini pada teman-temanku,
karena aku pikir jika aku menceritakan semuanya mereka hanya akan menjawab,
“Jangan seperti anak kecil, gunakan akal pendewasaanmu”. Tapi sungguh perasaan
ini mengatakan bahwa ada yang ganjil dengan Ganjar.
Setibaku di kos-kosan, kubaringkan tubuh lemasku di atas
ranjang. Lamunanku semakin menjadi-jadi membayangkan Ganjar yang tidak tau dia
dimana sekarang. Sedang apa dan bersama siapa? Tidak tahan menahan perasaan
ini, akhirnya kucoba menghubungi Ganjar. Berulangkali kucoba menghubungi tetapi
nomornya tetap tidak bisa dihubungi, emosi pun tidak tertahankan, ingin rasanya
aku menampar wajahnya sampai memar jika dia ada dihadapanku.
Kudengar hpku bunyi dari dalam tasku, segera kuambil hp
itu dan kuangkut telfon dari nomor baru.
“Halo” sapaku
“Halo me… kamu dimana?” rasanya seseorang dari dalam
telfon yang sedikit kukenali suaranya.
“Di kos-kosan, siapa nih?” tanyaku penasaran.
“Bara Me… kamu ngga lagi sama Ganjar kan Me?” tanya Bara
membuatku sedikit kaget karena menanyakan keberadaan Ganjar.
“Kenapa kamu tanya gitu Bar?” jawabku penasaran
“Ame… jangan kaget ya, Ganjar kecelakaan, dia di rumah
sakit sekarang”
Kudengar kabar itu sungguh hari ini terasa terbohongi,
aku masih tak percaya jika kabar itu benar adanya, pikiranku benar-benar rancu,
rasanya raga ini sudah terpisah dari nyawaku, lemas, itulah yang aku rasakan
seketika Bara menelfonku, memberi kabar buruk tentang Ganjar.
Ya … Tuhan apa ini benar terjadi pada Ganjar?
Tanpa berfikir panjang, segera saja kuambil tasku dan
pergi ke rumah sakit dengan tubuh lemas disertai gemetar bagaikan tergoncang
getaran gempa bumi yang sangat dahsyat… aku tak sanggup lagi menangis, karena
aku masih merasa ini semua adalah kebohongan semata.
Setibaku di rumah sakit entah mengapa perasaan ini
semakin rancu. Langkah demi langkah kulewati perlahan dengan perasaan yang
sangat hancur, aku tak memperdulikan orang-orang yang lalu lalang
disekelilingku.
Langkahku terhenti ketika kulihat sekelompok orang
menangis histeris di depan sebuah kamar pasien. Disitulah aku mulai berfikir
bahwa ini semua adalah kenyataan. Bahkan lebih dari yang aku pikirkan… hati ini
semakin teriris ketika kulihat orang tua ganjar menangis histeris…
Sebegitu sedihkah mereka jika Ganjar hanya sekedar
kecelakaan? Air mataku tak bisa terbendung lagi, aku tak sanggup lagi rasanya
untuk melangkahkan kaki mendekati kamar tersebut. Rasanya tubuhku menjadi kaku,
dan tanpa kusadari ada seseorang dan berbisik padaku, “Bersabarlah Me, Ganjar
sudah tiada, Ganjar kecelakaan Me…”
Ya Tuhan… sungguh kudengar bisikan itu rasanya petir
disertai angin topan menerpa diriku, pikiranku melayang, aku tak bisa
melontarkan satu katapun, air mataku mengalir begitu deras mengiringi kepergian
Ganjar, orang yang sangat aku cintai, orang yang selama ini mengisi hari-hariku
dengan penuh canda dan tawa…
Kupaksakan tubuh lemas ini mendekati kamar tersebut.
Orang tua Ganjar terbangun dari duduknya dan memelukku erat-erat… mereka
menuntunku masuk ke dalam kamar untuk
melihat keadaaan Ganjar.
Ku buka kain kafan yang menutupi wajahnya dengan tangan
gemetar. Air mataku bertambah deras saat kulihat Ganjar terbaring kaku… rasanya
aku masih tak percaya ditinggal oleh orang yang paling aku cinta untuk
selama-lamanya… kukecup kening Ganjar untuk yang terakhir kalinya, aku ingin ia
merasakan bahwa kasih sayangku selalu mengiringinya meski kini Ganjar telah
berada di alam sana.
“Ame, bersabarlah, relakan dia di alam sana, Ganjar
pasti akan selalu menyayangimu” ujar orang tua Ganjar mencoba menenangkanku,
aku tak bisa berkata apapun… aku hanya bisa terdiam, terpaku menatap wajah
pucat Ganjar, ternyata ini yang terjadi padanya setelah hampir seharian dia
tidak menghubungiku … kehilangan… inilah yang aku rasakan, kehilangan sosok
Ganjar yang menjadi penyemangat hidupku selama ini… rasanya aku ingin selalu
berada disampingnya, andai aku bisa, aku ingin menemani perjalanan Ganjar
menuju alam baka… kini hanya cincin yang melingkar di jari manisku yang menjadi
saksi bisu perjuangan cinta damai, kini hanya tinggal kenangan yang tersisa…
aku sangat mencintaimu Ganjar… sampai kapanpun.
Pernah aku menyimpan mimpi tentang sebuah hubungan yang
harmonis dengan cinta yang diberikan dengan totalitas, tidak terbagi-bagi yang
aku kira tidak akan berakhir meski kematian datang pada waktunya. Kelak, mimpi
itu akan berlanjut di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar